Ketika Bertemu Saat…

Rabu, 15 Januari 2014 | komentar

Suasana di desa ini begitu indah. Panoramanya yang penuh kesyahduan, menghanyutkan jiwa ke dalam telaga bahagia. Kicauan burung menghiasi melodi alam. Langit yang biru tampak begitu kokoh dan awan yang bersemangat itu bergerak tiada henti. Terlihatlah taman yang menarik perhatian. Letaknya ada di jantung desa. Di waktu sepagi ini, tak ada siapapun yang akan datang. Itulah sebabnya, Taman ini begitu damai. Tanpa ada manusia. Tak terasa hati sudah terlarut ke dalam ketenangan taman. Taman yang begitu mempesona. Begitu banyak pepohonan yang besar dan berdahan besar pula. Itulah Taman Sokyuerhi.
Hentakan kaki terdengar dengan ritme yang unik. Suara denguman itu terdengar mentel namun terasa indah di telinga. Langkahnya terus melaju mengikuti rute jalan di taman ini. Ia gadis berpakaian sopan dengan memakai rok panjang. Pakaian yang ia kenakan, menutupi tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajahnya yang terlihat bersemangat itu. Ia terus berdencak dencak bak sedang menari dengan denguman itu sebagai pengiring. Tampak dari postur tubuhnya, gadis ini mungkin berusia 17 tahun. Hidungnya tidak pesek. Wajahnya yang putih amat cocok dengan pakaiannya yang merah muda. Dengan hiasan bunga sakura, pakaiannya tampak anggun.
Diperjalanannya, gadis itu terus berdencak. Matanya liar. Ke kanan ke kiri. Matanya amat lihai dalam melihat hal hal yang indah dan tak tampak kalau ia lelah memandanginya. Tiba tiba, mata gadis itu tertarik perhatiannya pada sesuatu yang berwarna hitam. Dan menggantung. Ia memperhatikannya. Itu bukanlah sesuatu yang tidak pernah ia lihat.
Deru angin sejuk membawa dedauan yang berjatuhan, terbang entah kemana. Semilir angin itu juga, membuat pakaiannya bergoyang kesana kemari. Tangan kanannya menutupi sinar matahari yang menyilaukan matanya selagi ia melihat sesuatu yang bergantung itu. Dalam sekejap raut wajahnya berubah menjadi ketakutan. Ia seakan tidak mempercayai hal ini. Bibirnya membeku dan tak lagi berdengum. Matanya tak berkedip. Hanya suara yang terputus putus yang ia keluarkan.
“Jangan…” Ia bersuara.
Lalu melanjutkan ucapannya dengan seruan keras
“JANGAN LAKUKAN ITU!!!. Jangan Kau Buang Nyawamu!!” teriaknya berulang ulang.
Ia langsung menerkam sosok lelaki yang bergantung di tali yang disangkutkan di dahan pohon besar di taman. Memegang erat pakaiannya. Dia terus mengguncang sosok itu dengan menarik dan mendorongnya secara berulang ulang. Terdengar suara pria itu sedang meradang. Meradang kesakitan. Lehernya terkecik oleh tali yang melingkar di lehernya. Guncangan guncangan itu membuatnya terus merasa kesakitan.
Beberapa detik sebelumnya…
Aku sudah putus asa. Jiwaku sudah rusak. Pikiran ku juga sudah rusak. Mataku juga sudah rabun berat. Dunia ini benar benar membuatku PUTUS ASA!!. Aku putus asa!!!
Aku sudah berdiri di sebuah kursi. Tingginya kira kira 25 cm. Aku berdiri di hadapan sebuah pohon besar. Di depanku terlihat sebuah tali yang berbentuk lingkaran dengan ujung talinya terikat di dahan pohon itu. Tidak lama lagi pun aku akan meninggalkan dunia yang sudah berkarat ini. Inilah mungkin satu satunya cara untuk bisa bebas dari keputusasaan ini. Ya, aku akan bebas, besitku.
Tanpa ada keraguan, akupun memasukkan kepalaku ke dalam lingkaran perenggut kehidupan. Aku melemaskan tubuh. Pandanganku ke atas, tuk mengucapkan selamat tinggal pada langit yang selalu melihatku. Detak jantungku tiba tiba semakin cepat. Keringat membasahi pelipisku. Aku harus melakukannya, tekadku. Waktu terasa lambat. Perlahan kakiku menggeser kursi itu. Dan…
KReZzepgh..!!!
Aku sudah tergantung di pohon itu dengan tali yang mengikat di leherku. Tidak terasa sakit. Aneh! Apa karena talinya longgar atau talinya sudah rapuh?. Kalau begini aku tidak bisa mati…
Tak lama kemudian, aku mendengar suara dan…
“Argghh!!” tiba tiba saja leherku terkecik hebat. Tali yang mengelilingi leherku itu terikat kencang. Aku tidak bisa bernafas. Tubuhku seolah olah tertarik dan berguncang guncang. Itu membuatku kesakitan dan sulit bernafas. Aku hanya bisa terbatuk batuk sebagai sinyal kalau aku sedang sesak. Namun dia terus menarik narikku sambil berteriak keras. Aku tidak tahu apa yang ia ucapkan. Tapi yang jelas, Leherku benar benar sakit.
Arghh!!.
Kemudian talinya terputus. Itu membuatku terjatuh ke hamparan tanah coklat itu. Dan sosok yang menarikku juga terjatuh.
Gedebug!!
Badanku terasa sakit sekali. Aku terdiam sejenak di disini.
“Hey, hey…” terdengar suara seorang gadis disertai jari tangannya yang menusuk nusuk badanku. Seketika itu aku terbangun dari posisi terlentang itu. Aku langsung membalikkan badan dan terbatuk hebat. Aku terus terbatuk dalam sepuluh detik. Sementara gadis itu hanya menatapku. Selesai terbatuk. Aku langsung memalingkan pandanganku pada gadis itu. Dengan tatapan serius aku berkata
“Bagaimana bila tadi aku mati?”
Kata kata itu keluar tanpa ada perintah dari pusat syaraf. Itu insting, bung!
Dalam sekejap suasana menjadi hening dan tak terdengar ada suara. Hanya semilir angin yang menderu deru di telinga. Dalam sepersekian detik, ia terheran…
“Heh?!”
“Ha?!”
Entah kenapa kata itu terucap oleh bibirku. Hal itu membuatku malu ketika itu. Malu pada gadis yang ada di hadapanku itu. Tanpa berkata kata lagi. Aku melonggarkan ikatan tali di leherku itu. Kemudian melepaskan diri dari jeratan tali. Lalu aku berdiri dan mengatakan pada gadis berpakaian rapi itu,
“Sekali lagi… Aku tidak mati…” nada suaraku tersampaikan dengan alunan melodi kekecewaan.
Gadis itu tidak merespon. Aku terdiam sejenak. Lalu menyambung perkataanku tadi,
“Kenapa kau menghentikanku?” Lagi dengan nada datar penuh kecewa.
“Tapi tadi kau bilang “Bagaimana Bila aku mati?”
“Hmm, Aku adalah orang yang hidupnya tidak berharga”
“Kamu tidak berniat untuk mati kan?”
“Apa yang kau bicarakan!?” Sahutku membantah kalimat gadis itu.
“Aku sudah siap mati, tahu!!” sambungku
“Tentu tidak!” Ucapannya menyambar bak kilat
“A?”
“Tidak ada orang yang akan mau menghabisi hidupnya di hari yang seindah ini di dunia!!” Teriaknya keras dengan wajah mendongak ke langit.
Aku terdiam. Ia terus melanjutkan ucapannya.
Hari yang cerah, langit yang begitu indah, suasana yang mendamaikan hati, cinta yang tumbuh di dunia, harapan yang tercipta, hal hal itulah yang membawa kita ke masa depan yang bahagia!” Suaranya begitu energik terasa. Expresinya begitu bahagia. Ia melompat lompat kegirangan.
Kemudian ia berhenti bergerak lalu agak menundukkan pandangannya.
“Atau kamu akan disebut Buruburubazoletagejipo!”
“Bururu— apa?”
“itu adalah sebutan yang kubuat untuk orang yang mencoba hal bodoh di sini!”
Dengan agak kesal aku meresponnya “Jangan seenaknya mengganti nama orang dengan, Bururu.. zolek.. jidatp*rno.., nama itu jelek banget! Nama apaaan itu!?”
“Jelek?” ia menggelengkan kepalanya ke kiri sekali.
“Lagipula, kau tidak bisa seenaknya memberi nama sesuatu di dunia ini sekarang. Kecuali jika kau memiliki uang.”
“Heeehh…”
“Bahkan bisa saja suatu hari nanti, Bukit barisan berganti nama menjadi bukit kolor ijo! Dunia ini menyedihkan benar benar menyedihkan…”
Aku berhenti bicara untuk mengambil nafas. Lalu melanjutkannya dengan nada depresi
“AKU PUTUS ASA! Dunia gila ini membuatku begitu!!” seruku keras dan berharap langit bisa mendengarnya.
Tanpa pikir panjang lagi aku mengambil tali itu dan berniat tuk mencoba lagi.
“Kenapa kamu berpikiran begitu. Padahal dunia itu penuh dengan harapan dan cinta”
“Kalau begitu aku akan bunuh diri sekarang.”
“Kan sudah saya bilang, tidak ada seorangpun di dunia ini yang akan membunuh dirinya sendiri di hari yang indah begini…!?”
“Kau tidak percaya?”
“Tidak!!”
Lalu aku mulai memberikan pertanyaan pada gadis belia itu.
“Lalu apa yang aku lakukan beberapa waktu yang lalu?”
“Ah…, itu kan…”
Ia tiba tiba memelankan suaranya. Tampaknya ia sedang berpikir. Lalu dengan segera ia memandangku dengan ekspresi yang begitu kuat,
“Kau sedang meninggikan badanmu, iyakan?!”
Aku terdiam. Terpaku mendengar ucapannya itu.
“HAA?!” responku
Aku terheran heran bukan kepalang.
“Dulu… aku ingat. Kalau ayahku dulu juga sering begitu, Ia selalu berusaha membuat dirinya lebih tinggi. Di saat ia sedang bangkrut. Di saat penagih hutang datang, dia pasti melakukan itu.”
“Eh?!, aku yakin kamu membuat sebuah kesalahan disini—”
“Dan ibuku juga, ia pernah mencoba meninggikan badannya satu kali. Maaf, kau tidak tahu ya?, Ceritanya begini—”
“Sudah Cukup!!” Seketika itu aku menghentikan ceritanya itu.
Lalu aku mulai bertanya untuk memastikan pola pikir gadis ini.
“Jadi, menurutmu bahwa jembatan di dekat sini adalah tempat favorit untuk meninggikan badan, begitu!?”
(padahal tempat itu adalah tempat paling sering terjadi kasus gantung diri)
Angin sepoi berhembus kencang. Suasana menjadi lebih tenang. Ia berjalan mendekati ku. Ia menatapku dengan seksama. Aku berbalik menatapnya. Tatapannya membuatku ada sesuatu yang greget di dadaku. Kami bertatapan cukup lama. Lalu ia mulai bergerak. Ia mengangkat tangannya ke arahku. Lalu melihat tubuhku dengan seksama.
“Hmm, Aku rasa kamu tidak terlalu pendek kok?”
Aku sedikit terkagum.
“Itu makanya kubilang, kalau aku itu bukan meninggikan badan!?”
“OH! Kamu mau jadi pemain basket ya?”
“NO!”
“Tapi tak apa. Aku yakin dengan tinggimu yang sekarang jika kamu sering berlatih, kamu bisa jadi pemain basket kok!”
“Aku tidak mau jadi pemain basket!”
“kau hanya perlu berlatih keras”
“Dengarkan aku dulu…”
Dan, perdebatan tiada henti itu berlanjut hingga keduanya merasa kelelahan. Itu adalah pertemuan seorang pria yang selalu melihat segala sesuatu dari sisi negatif dengan seorang wanita yang selalu melihat segala sesuatu dari sisi positif. Itu adalah pertemuan yang jarang terjadi. Dan semoga jangan terjadi. Ibarat air dan minyak, tak akan mungkin bisa menyatu. Namun, suatu saat ketika salah satu dari mereka tidak ada, maka terasa tidak lengkap, seperti memasak indomie kuah, akan terasa kurang sedap!!! :D
THE END!
Penulis Cerita: App
Bagikan :

 
 
Copyright © 2014 Kotatulis - All Rights Reserved
Hak Cipta dan Ketentuan | Tentang Kami