Tiba tiba pandangan Soeparman kosong, seperti tanpa daya. Namun siapapun yakin, jika melihatnya, dia seolah memikirkan sesuatu. Entah, pikiran apa yang sedang bercongkol di kepalanya, atau yang berseliweran di udara. Sekawan Dasiyo, Suwito dan Waluyo yang sedari tadi memandanginya, juga tak kunjung menemukan titik temu; apa yang ada dipikiran manusia wereng saat itu. Hingga akhirnya mereka memutuskan diri untuk menunggu sebuah pengakuan dari Soeparman sendiri.
“aku besok mau ngisi kuliah subuh”, kata Soeparman, di sisa sedotan rok*knya. Lalu memuntung apinya di asbak merah jambu.
“lha, trus apa masalahnya, man?”, seloroh Waluyo yang paling muda. Dengan pekik suara yang separuh tenaga, kerna pita suara yang mati berjam-jam.
“bukan begitu yo, tidak ada masalah. Lha wong masalah kan miliknya orang-orang yang merasa tidak punya masalah to. Udah terbukti korupsi, ngerasanya enggak. Itu kan yang ketenggak-enggak”, Jawab Soeparman.
“heu.. Pak de Parman bisa saja to. Lha trus, memangnya, kembali lagi ke masalah tadi Pak de, ada apa memang dengan kuliah Subuh?”, ganti Suwito yang bertanya, keheranan dan sedikit tercengang dengan gaya jawabannya yang selalu “wise”.
Begini kang mas Waluyo, tadi pagi di henpun saya ada sms masuk. Perintah. Saya “diperintah” ngisi kuliah subuh di depan ribuan akademisi yang sekarang sedang berkumpul di alun alun Ngamarta kerna suatu acara, sebagian besar mereka kandidat doctor dan professor. Lha ini kan, bagaimana ya, saya bingung ngomongnya. Saya ini kan “tidak dalam kapasitas itu”, semua orang sejagad bahkan bayi cenger pun tau. Kalau saya tidak pernah sekolah, bahkan saya tidak turut menikmati pendidikan SR, kerna Belanda keburu kabur. Aneh, kok sekarang pak Kadis minta saya ngisi kuliah subuh. Lha memangnya saya siapa?
“Sampyan ya Soeparman, manusia wereng”, tukas Waluyo. Sambil cekikikan seolah hatinya berkata “heuheu, ini to yang sedari tadi kau pikirkan. Rumit juga”.
“Begini saja dek Parman, ya, berarti panjenengan dituntut oleh dua hal; pertama, panjenengan harus menyiapkan tema, pembahasan yang sesuai, wise, kredibel dengan selera mereka. Kedua, mungkin pak Kadis sudah mengenal Panjenengan lama, jadi dia tau, kalau Panjenengan paling anti dengan bangun pagi… Hahaha”, canda Suwito yang semakin membuat pusing Soeparman. Kerna dua hal itu, terutama yang terakhir.
“ah, kang mas ini tidak memberi pencerahan, malah memperkeruh keadaan”, Soeparman mulai pasang muka masam.
Jam berputar. Mengikuti ke-empat Pengacara (pengangguran banyak acara) mengotak atik akalnya. Sedang asap rokok, memenuhi ruangan seperti awan. Tidak kasat lagi mana racun mana nikotin. Bersatu seperti mendung.
“Begini dek Parman”, kata Dasiyo memotong keheningan. “Ini saya Curhat sebentar mengenai kyai – kyai Santren. Kyai Santren sekarang itu, tidak seperti dulu yang ulet, bernas. Sekarang ruwet – ruwet. Kalau pas lagi khutbah jum’atan, kadang kadang, ntah lupa atau disengaja, masak khutbah naik ke mimbar dia lupa nyopot emblem di dadanya. Mana yang dinas mana yang tabaru’. Ada lagi suatu ketika, malah ada yang sehabis kita sholat jum’atan, trus kan biasa, keringetan, beliau ambil sapu tangan, eh, sapu tangannya gambar partai. Besok lagi ada yang begitu, dengan jenis yang kutemukan berbeda, ada yang platnya merah. Dan segala macam lah. Jadi saya berfikir dek Parman, kalau Kyai Santren sekarang itu ruwet; jadi santrinya ga awet. Lha kalau begitu modelnya, kapan beliau beliau itu ngurus santrinya?”
“lha memang, panjenengan berani njamin nafkah keluarga mereka?”, celetuk Soeparman, bernada Tanya.
“Nah, ini. Jangan sampai Kyai Santren terdiskualivikasi menjadi pranata social lho ya, sejatinya mereka menggiring manusia dari ranah building moral and ethic. Itu yang perlu kau pikirkan, revitalisasi peran jama’ah subuhmu”, Jawab Dasiyo.
“hmm…”, Soeparman mikir.
Baiklah, itu sebagai opsi. Curhatan saya tampung. Namun ada yang lebih saya perhatikan dari revitalisasi peran mereka. Adalah reaktualisasi peran mereka. Kerna selama ini, kalau tidak lari ke negri orang, para cendekiawan / akademisi itu takut tidak bisa makan. Faktanya memang begitu, seperti orang kita yang direkrut orang asing, sebut saja oleh negri paman sam. Mereka cenderung betah disana lho, selain faktor fasilitas yang memadai; gaji dan tunjangan sepadan, juga penghormatan yang baik terhadap ilmuan. Lha di negri kita? Ngeri.
“ciyuus? Miapah?”, Waluyo nylonong. Cekikikan.
“Miataamu”, kata Soeparman. Sambil terbahak – bahak
“ya iyalah pak de Parman, seperti putra ngamartha Agus Garudayudha, itu kabarnya sekarang sudah jarang pulang. Beliau hidupnya lebih sering di negri orang daripada di negri sendiri. “eman”, sayang, padahal Yudha itu pinternya na’uzhubillah, ngalah-ngalahi werkudara. Masak besi wungkul bisa diterbangkan”
“iya, kepalang sayang, malahan dia sekarang di fasilitasi orang lain”
“gobloknya, Abhinista, malahan dengan bangganya bilang kepada mereka; ilmuwan yang diculik orang. Katanya, kalau tidak mau pulang dulu ya ga apa apa. Nanti kalau Ngamarta sudah punya Tekhnologi Sentrik baru akan dipanggil”
“Lha, kok begitu? Mana mungkin tukang jahit bikin baju gak ngukur dulu?”, ketus Waluyo
“Jadi… revitalisasi dan aktualisasi peran ya?”, kata Seoparman. Mulai menemukan ide bahasan untuk kuliah subuh besok. “kalau begitu besok saya akan membahas ini; mengenai revitalisasi dan aktualisasi peran, sekarang mau saya catat dulu poin poinnya”
“Besok?”, Tanya Dasiyo dengan mata blalakan.
“iya”
“oalah pakde, Subuh manjing setengah jam lagi”
“@_@”
Penulis Cerita: Muhamad Tajul Mafachir