Surat Merah Muda

Senin, 13 Januari 2014 | komentar

Seperti biasa. Surat itu selalu datang di dalam lokerku setiap jam istirahat. Bukan hanya aku, semua teman-temanku merasakan hal yang sama. Isi surat bermacam-macam dan selalu bersifat misterius, ia mengetahui masalah yang kita alami. Bagaimana dia mengetahui semua ini?!
Semua tidak bisa menaruh curiga kepada siapapun. Karena semua medapatkan surat aneh itu. Tapi aku mulai menaruh curiga pada Andre, tak pernah terdengar suaranya ketika mendapatkan surat merah muda yang selalu diabaikannya dan dibiarkan menumpuk di lokernya.
Siang itu berbeda, tak ada surat merah muda yang terlihat di lokerku dan teman-temanku. Sebagian merasa lega karena mengira semua itu sudah berakhir. Namun sebagian besar merasa kehilangan, termasuk aku. Karena masalah menumpuk harus ku hadapi sendiri tanpa bantuan dari kumpulan tulisan dari surat merah muda itu.
Jam pulang mendatangi kami. Aku bergegas pulang dan menunggu kakakku mengambil motornya. Entah darimana sayup-sayup terdengar seseorang laki-laki keras yang sedang membentak dan seseorang laki-laki yang sepertinya lebih tua darinya menangis dan merintih.
Aku meninggalkan tempat itu, dan memberi tahu kakakku jika ia pulang terlebih dahulu. Selagi motor menjauh pergi, aku menyelinap masuk dan mengikuti suara rintihan.
“NGAPAIN SIH LO NGIRIM SURAT GAK JELAS KAYAK GITU. GAK PENTING, MALAH MALU-MALUIN TAU GAK SIH!” Tak salah lagi, itu Andre.
Tanpa bisa di bendung, amarahku meledak dan langsung mendorong Andre yang menurutku tak punya lagi hati.
“Ngapain lo disini? Urusan pribadi. Gak usah ikut campur.”
Anak itu sangat mirip dengan Andre itu mencoba memelukku dengan mencoba berjalan meskipun tertatih ke arahku. Andre menatapnya dengan penuh amarah. Entahlah apa sebabnya mengapa ia melampiaskan amarah kepada kakak yang begitu besar. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan menjauh dari Andre.
“Lo mau bawa kemana dia?!”
“Jadi kamu yang mengirim surat itu ke kita semua?” Aku memberikan sebotol air mineral kepadanya.
“Iya begitulah. Aku suka saja menyelesaikan masalah orang-orang. Maaf kalau aku mengganggu kalian. Aku tidak bermaksud.” Ia menunduk penuh rasa bersalah. “Aku Andi..”
Andre berjalan ke arahku tiba-tiba.
“PULANG!!”
“Lo tuh maunya apa sih?!” Aku berdiri, mendekat dengat Andre.
Andre diam dan gelisah,
“Gue mau lo..”
Aku mengerutkan dahiku, aneh. Andre tak pernah sehalus ini kepadaku.
“Mau gue?”
Andre menggangguk, “Andi juga begitu.”
“Aku kirim surat, buat kamu.” Andi tiba-tiba memotong pembicaraan.
“DIA ITU NYARI PERHATIAN SAMA LO. DIA SUKA SAMA LO!!”
Andre berjalan cepat meninggalkan kita. Andi mencoba menyusulnya, aku melarangnya. Aku masih tidak mengerti. Ini terlalu rumit.
“Kita kembar, Jess. Kita menyukai orang yang sama. Namun, nasib kita berbeda.” Ia tersenyum. Belum sempat di jawab, ia sudah pamit pulang karena hari sudah gelap sekali.
Kejadian kemarin membuatku terlambat pergi ke sekolah. Aku berjalan menyusuri komplek rumahku. Terlihat bendera kuning berkibar di depan rumah Andre. Siapa yang meninggal?
Tak peduli soal kedepan. Aku masuk ke rumah Andre. Terlihat Andre mencoba menahan tangisnya di samping ibu, ayah dan kedua adiknya yang berteriak histeris memanggil nama Andi. Andi kenapa?!
Andre menoleh ke arahku, ia mendekatiku dan mengajakku ke taman komplek. Dengan seragam yang masih melekat di tubuh kita berdua.
“Gue orang paling bodoh.” Aku menoleh, ada apa ini.
“Kenapa memangnya?”
“Harusnya gue serahkan saja lo ke Andi. Gue gak tau kalau kemarin hari terakhirnya.”
“Andi si pengirim surat, yang ingin perdamaian selalu ada. Kini pergi, untuk kita semua.”
Aku terkejut.
Aku mengerti mengapa Andi mengirim suratnya untuk kita semua.
Ia tak mau lagi ada iri kepada teman karena kepintarannya, benci terhadap guru sejarah, ataupun marah terhadap orang tua karena tak dibelikan motor. Bahkan yang lainnya.
Penulis Cerita: Ghina Athaya
Bagikan :

 
 
Copyright © 2014 Kotatulis - All Rights Reserved
Hak Cipta dan Ketentuan | Tentang Kami