Dia(m)

Senin, 13 Januari 2014 | komentar

Diam adalah situasi dimana tidak terjadinya pergerakan atau suara yang menimbulkan bunyi. Diam berarti tak bersuara. Tak bersuara artinya bisu. Bisu artinya tidak bisa bicara. Tuna runggu, peyorasinya.
Diam. Empat bunyi yang mengagumkan bagiku. Aku mengagumi kata itu bahkan di setiap hariku, aku ‘mendiamkan’ mulutku. Aku bukan tipe orang yang suka banyak bicara. Karena bagiku, diam atau membisu lebih mulia dari pada membual. Dan tentunya, aku juga suka dan simpatik kepada orang-orang yang tidak bisa mengeluarkan suaranya, atau orang bisu, tuna runggu, peyoratifnya. Orang-orang bisu mendapat tempat lebih terhormat dalam hati dan ingatanku. Karena mereka berbicara melalui mata mereka. Suara mereka tidak terdengar, tetapi memancar. Dan sungguh sekalipun, aku berani bertaruh. Hanya orang bisu yang tidak pernah berbohong seumur hidup mereka.
Diam seolah anugerah. Bagi si Bisu, diam yang tanpa suara adalah lebih baik dari pada seruan seribu bahkan sejuta kata-kata yang sebenarnya, bualan belaka.
Bicara dengan perbuatan, dan tatapan mata. Dan aku, tentu selalu mengagumi mata.
Mata, adalah yang pertama kujamah, yang pertama kuraih saat aku menemukannya. Dan saat itu, syair itu pun mengalun…
“Itu lagunya siapa yah? Saya lupa…” Temanku menusuk-nusuk kepalanya dengan ujung bolpoinnya saat ikut mendengarkan You’re Beautiful-nya James Blunt.
“Aaah… saya ingat.” katanya kemudian. Ia menatapku sejurus kemudian. Meyelidikku.
“Tumben hari ini mellow. Biasanya juga nyeleneh…”
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Beringin di tempat parkir kampusku begitu rimbun. Syukurlah ada tempat di dekatnya yang bisa dipakai untuk kami duduki. Di sini menyejukkan. Sesejuk senyum yang kulihat pagi ini, di tempat ini.
My life is brilliant
My love is pure
I saw an angel
Of that I’m sure
Aku perempuan. Dan aku melihatnya di tempat parkir. Jadi kuubah saja syairnya…
She he smiled at me on the subway parking place
She he was not with another man girl
But I won’t lose no sleep on that

You’re beautiful. You’re beautiful.
You’re beautiful, its true.
I saw you’re face in the crowded place
And I don’t know what to do…
And I don’t know what to do, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Sampai sekarang, aku pun masih tetap tidak tahu harus berbuat apa. Bila waktu menarikku dalam ingatan tentangnya, maka waktuku sesungguhnya seolah berhenti. Hanya pikiranku yang merangkak-rangkak meraih bayangnya.
“Siapa namanya?”
“Tidak tahu,”
“Gila!”
“Sudah semestinya.”
“Kau pikir itu brilliant, pure?”
“Hanya saya yang berpikir begitu.”
“Benar sekali.”
Dan kutelusuri lagi waktu. Aku melihatnya juga dalam waktuku. Dalam tapakan kakiku, dan dalam setiap degupan jantungku. Dalam setiap pandangku, senyumku dan tawaku ada juga dia di sana…
Yeah, she he caught my eye
As we walk on by
She he could see from my face that I was
F*cking High
And I don’t think that I’ll see her him again
But we shared a moment that will last till the end
…Kami berbagi sesuatu, bersama, yang tiada henti hingga akhir.
Dan ketika aku sadar bahwa hanya ada dia dalam jarak pandangku, kami lalu berbicara. Tentang hal yang terlampau keramat untuk kami ucapkan satu sama lain. Kami berbicara lewat mata. Mata menjadi tutur kami dan hati, menjadi telinga kami. Meski kami tidak bisu. Tapi kami tetap memilih ‘membisukan’ diri kami untuk mendalami apa yang kami bagi lewat mata kami. Setiap pancaran yang menuntun kami ke suatu waktu yang tak bisa tersentuh oleh siapapun, kecuali kami berdua.
Theres must be an angel with a smile on her him face
When she he tought up that I should be with you…
Dan ketika waktu mengantarku menujunya, di saat yang bersamaan pula, waktu membawanya menjauh dariku…
It’s time to face the truth
I’ll never be with you…
Ini saatnya menghadapi kenyataan. Aku tidak akan pernah bersamanya. Karena di saat mata kami bertemu, kami tenggelam dalam indahnya bisu dan saling berpancar dalam bahasa mata. Tidak berapa lama sebuah tangan menariknya. Ia terdekap dalam dekapan Sang Isis yang lain. Membuatku terpental kembali ke waktuku yang sesungguhnya.
“Tuhan, bila dia bukan jodohku, bukan yang terbaik untukku, maka jauhkan ia dariku.”
“Lalu datangkan ia padaku.. hahahahah”
“Hahah. Saya juga mestinya bersyukur. Dia juga tidak akan pernah datang ke kau.”
“Kenapa?”
Aku tersenyum kecut. Ada sakit yang kurasa. Sempat ku berpikir, bahwa bisu adalah waktu yang laknat.
Lalu bisu kembali menyelimutiku. Entah bagaimana dia, diam juga kah?. Dia(m) momen berharga dalam hidupku. Waktu telah menjadi musuh sekaligus sahabat tercinta bagiku. Ia menghalangiku untuk mencapai bahagiaku, dan juga melindungiku dari sebuah kesalahan.
Penulis Cerita: Nifan Mbonga
Bagikan :

 
 
Copyright © 2014 Kotatulis - All Rights Reserved
Hak Cipta dan Ketentuan | Tentang Kami