Menyusul kematian Khalifah Usman bin Affan, umat Islam sempat terpecah dalam dua golongan, yaitu pro Ali dan kontras alias anti Ali. Sayyidina Ali akhirnya memang dibai’at menjadi Khalifah, namun sebagian kalangan ternyata tak mematuhinya. Berbagai elemen anti Ali melancarkan manuver politik dengan berusaha menjatuhkan kredibilitas menantu Nabi Muhammad saw. ini.
Tersebutlah seorang orator ulung, ahli debat yang pemberani bermaksud hendak “menghantam” kemuliaan Ali. Orang itu bernama Zi’ab. Suatu hari ia menemukan momen yang tepat untuk mempermalukan Ali. Tepat ketika Ali hendak berkhutbah, Zi’ab yang jago bicara segera bangkit dan berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “Putera Abu Thalib telah naik mimbar, oleh karena itu aku hendak mempermalukan di hadapan kalian, hanya dengan sebuah pertanyaan.” Setelah berdiri tegak, Zi’ab langsung mengacung, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau melihat Tuhanmu?”
Mendengar pertanyaan aneh ini tentu saja Ali langsung menimpalinya tanpa berbasa-basi, “Celakalah engkau wahai Zi’ab. Tentu saja aku tak sudi menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.” Mendengar jawaban tadi, Zi’ab yang pemberani tidaklah grogi, melainkan bertanya kembali, “Bagaimana cara engkau melihatnya?” Ali sama sekali tidak gelagapan dihadapkan dengan pertanyaan yang aneh tapi fundamental seperti itu. Ali adalah pintunya ilmu, sedangkan Nabi Muhammad saw. adalah gudangnya ilmu. Apapun yang diterima Nabi, hampir semua telah diajarkan dan diketahui Ali. Hal ini persis seperti kata Nabi, “Ana madinatul ilmi, wa aliyyun babuha, artinya: Saya kota (gudang)nya ilmu sedangkan Ali adalah pintunya.
Oleh karena itu, dapat dipahami jika Ali dapat langsung dapat menjawab dengan tangkas, “Tuhan tak dapat dilihat dengan mata indrawi, tapi mampu dilihat dengan mata hati yang sarat dengan hakikat iman. Wahai Zi’ab sesungguhnya Tuhanku tak disifati dengan jauh alias jarak, gerakan ataupun diam, berdiri tegak, maupun datang dan pergi. Dia berada di dalam segala sesuatu, tetapi tanpa bercampur. Dia berada di luar segala sesuatu, namun tanpa berpisah, berjauhan. Dia di atas segala sesuatu, tanpa ada sesuatu pun di atasnya. Dia berada di depan segala sesuatu, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa Dia berada di depan. Dia berada di dalam sesuatu, namun tak seperti sesuatu di dalam sesuatu. Dia berada di luar segala sesuatu, tapi sesuatu di luar sesuatu.”
Mendengar jawaban komprehensif, rasional, singkat, padat tetapi lengkap, Zi’ab terkagum-kagum. Zi’ab yang bermaksud mempermalukan Ali, akhirnya justru malu pada diri sendiri. Dia menyadari kekeliruannya, oleh karena itu secara ksatria dia berkata, “Demi Allah. Aku tak pernah mendengar jawaban seperti ini sebelumnya. Demi Allah aku tak akan mengulanginya.”
Penulis Cerita: Aldi Rahman Untoro