Gemericik

Senin, 13 Januari 2014 | komentar

Hujan masih lebat mengguyur kota ini. Angin pun sigap memasuki pori pori siapa saja yang menghadapnya. Langit terlihat gelap di ufuk ujung sana. Suasana yang telah berputar dari belahan bumi, malam ke pagi. Cuaca sangat tak menentu, terkadang bisa hujan atau kemarau. Lelaki itu membuka kelopak matanya. Kelvin, begitu ia biasa disapa. Kepalanya masih terasa pening saat ia mulai membangunkan dirinya. Banyak serpihan kaca beredar di lantai kamarnya. Kamarnya saat ini sangat berantakan. Buku buku yang tertata rapi di atas meja sekarang telah berserakan dimana mana. Kelvin mulai berdiri perlahan. Ia menyibak gorden cokelatnya kencang. Ingin tahu, cuaca apa yang kali ini rehat di kotanya. Hujan. Lagi lagi ia melihat rintikan air yang turun dari langit. Manakala, sering terdengar bunyi gemuruh di antara gemericik air langit itu.
“Aku baik baik aja. Kau tak usah khawatir!” Titt.. Kelvin mematikan sambungan telfon dari seseorang di luar sana. Menjawabnya asal asalan saat seseorang sudah mulai bersuara. Ia kenal suara itu. Suara yang membuatnya begini. Aku baik baik saja? Ah.. Itu hanya kebohongan belaka. Hati, batin dan raganya saat ini berbalik 180 derajat. Tak ada kata yang baik baik saja yang pantas untuk disebutkan pada dirinya. Masih memandangi hujan yang kian lama turun lewat candela. Tak ada cahaya matahari yang menembus candelanya, saat ini. Mungkin perasaannya kini sama dengan adanya hujan dan tak adanya mentari yang menyinari setiap pikiran dan hatinya.
Fiuhh… Kelvin menghela nafas kemudian menghempaskannya keluar. Seseorang wanita telah berada di hadapannya kini. Wanita berparas cantik, pintar, dan murah hati ini yang bisa dibilang hampir sempurna. Tak ada celah dari Andini di mata hati Kelvin.
“Kau menjauh dariku.. Kau kenapa?” Andini mulai bertanya tanya tentang sikap Kelvin yang mulai berubah. Menjauh dari dirinya. Lagi lagi, Kelvin menarik nafas panjang untuk menjawab pertanyaan Andini.
“Siapa? Aku? Menjauh darimu. Kau tak sadar, aku ini hanya pencundang yang tak pantas bergaul dengan,..” Andini menyeritkan dahinya, sesaat Kelvin pergi dengan jawaban yang mengantung. Suara hentakan kaki dari Kelvin sangat menggema di lorong lorong sekolah yang mulai sepi ini.
“Dengan siapa?” Kelvin menghentikan langkahnya. Seharusnya ia sudah tahu jawaban menggantung dari Kelvin. Jawaban yang tertuju pada dirinya sendiri. Sesaat hening. Suara keramain dari anak anak sekolah ini sudah tak terdengar, hanya suara gemericik hujan yang lagi lagi turun. Menggenang setiap pijakan yang tak rata di tengah tengah lapangan sekolah. Andini menatap punggung Kelvin yang terdiam. Seolah menanti jawaban konyol yang terlontar dari mulut disana.
“Kau pikir saja.!”
Menanti bis yang tak kunjung datang, jika tak ingin tubuh basah. Begitulah, hal yang setiap hari dilakukan Kelvin ketika hujan turun. Seragam SMA yang ia pakai sudah mulai terasa basah. Ia duduk di halte bis depan sekolahnya. Suara rintikan air yang bermelody sangat terdengar dari atas atap halte bis yang tertutup ini. Tak ada petir ataupun angin yang meniup teralu kencang, hanya ada suara gemuruh yang kadang kadang terdengar. Kelvin menaruh kakinya di atas kaki yang tersungkur di bawah tanah. Matanya masih menyibak kata kata yang tertuliskan di buku. Sesekali ia melihat ke arah jalanan untuk memastikan kedatangan bis yang akan membawanya menuju rumahnya.
Seseorang wanita berlari kecil di tepi trotoar jalanan. Menuju ke arah bis halte yang menjadi tempat persinggahannya sementara dari rintikan air hujan. Dress pink lembut selutut yang ia gunakan sekarang telah basah di sekitar bahu. Mahkota kewanitaan yang ia pakai juga telah basah di pucuk kepala. Membekaskan setiap bercak bercak air yang turun dari langit.
“Heyy..!” Sama halnya seperti kucing yang dipanggil dengan sebutan ‘pushh’, refleks Kelvin menoleh ke arah yang memanggilnya tadi. Dilihatnya seorang wanita duduk di sampingnya. Kelvin mengulas sebuah senyuman tipis, lalu terfokus kembali pada buku novel yang sempat ia baca tadi.
“Lagi baca apa, Vin?” Kelvin menutup bukunya setelah wanita itu memanggilnya Vin. Tak sepantasnya jika ada yang berbicara tak diperhatikan. Atau bertanya tidak dihiraukan sama sekali. Kelvin menoleh ke arah wanita di sampingnya itu, kemudian menaikan sedikit satu alisnya.
“Vin? Kau tau namaku?”
“Hahaha.. Aku sering memperhatikanmu bersama pacarmu itu. Dia sering memanggilmu Vin. Jadi aku simpulkan namamu Vin.” Wanita itu sedikit tertawa kecil setelah memutar kembali rekaman suara otaknya. Mungkin, ia sering berada disini dan mendengarkan Kelvin berbicara pada salah seorang gadis. Kelvin terdiam. Otaknya kembali mengingat masa masa indah bersama pacarnya – Andini. Gadis yang ia jauhi belakangan hari ini. Ia menarik nafas panjang sebelum mengklarifikasi perkataan dari wanita yang ia tak ketahui namanya.
“Sekarang dia bukan pacarku lagi. Kami sudah putus semenjak lima hari yang lalu.”
“Maaf. Aku sama sekali tak tahu!” Sepertinya, merasa bersalah atas ucapannya tadi. Sama sekali ia tak tahu dengan urusan orang di sampingnya. Hening… Rintikan hujan yang lagi lagi yang terdengar saat ini. Cuaca yang tak bersahabat benar benar menghiasi sudut sudut di kota ini. Dingin yang selalu ada di setiap hujan turun.
“Namaku Kelvin, bukan Vin. Bagaimana denganmu?” Kelvin menoleh lagi ke arah wanita itu. Mengklarifikasi namanya yang tidak diketahui oleh wanita itu.
“Hahaha.. Maaf. Aku tidak teralu tahu, siapa namamu. Namaku Rain.”
“Aku nggak tahu, dan aku nggak mau tahu tentang dia. Kita putus! Dan kamu jangan dekat denganku lagi.!”
“Vin.. Vin..”
Suara itu masih menggema berulang ulang di setiap sudut di otaknya. Masih menyisakan goresan luka yang sama sekali tak pernah terfikirkan. Ini memang salah. Tak sepantasnya kata itu terlontar, padahal hatinya sama sekali tak ingin mengucapkan kata sebodoh itu. Putus. Masih terbayang bagaimana Andini bersikap memelas untuk memberi penjelasan terhadapnya. Langit langit kamar yang memutar kembali ingatan yang tak pernah lepas dari otaknya.
Hari ini cuaca sangat cerah. Tak seperti biasanya yang selalu dibumbuin dengan air dan awan kelabu ataupun hitam yang menggelayuti langit. Kelvin menaruh buku novel – you are – nya sejajar dengan buku novel koleksinya di atas sebuah meja yang memang dikhususkan untuk buku. Kamarnya tak seberantakan seperti tiga hari yang lalu. Rapih dan bersih, seperti pada awalnya. Hanya ada lipatan lipatan pada tepi kasur yang baru saja ia duduki.
“Hey Vin..!!” Rain duduk di sebelah Kelvin. Kelvin menoleh ke arahnya, kemudian menutup buku novel yang ia baca. Seperti yang terjadi kemarin lusa saat dia dan Rain bertemu untuk pertama kalinya. Mungkin bagi Rain bukan pertama kalinya, karena ia sudah mengetahui sejak dulu.
“Hai. Kau habis dari mana?” tak seperti yang lalu, Kelvin yang terlihat sedikit kaku sekarang ia mulai sedikit bersahabat dengan teman barunya itu. Rain mengulas sebuah garis di bibirnya. Hujan yang masih terjadi sama seperti awal awan Kelvin bertemu dengan Rain. Menimbulkan gemericik yang terdengar unik.
“Bajumu basah. Kau habis main hujan hujanan ya..?” sambung Kelvin menebak setelah melihat penampilan Rain yang sangat begitu basah. Begitupun dengan rambutnya yang sedikit kusut. Halte Bis yang saat ini hanya ada mereka berdua. Sepi.. karena hari sudah mulai malam.
“Bisa dibilang sih.” Rain terkekeh dengan jawabannya. Kelvin bediri sejenak, untuk melepaskan jaketnya. Kemudian mengulurkannya pada Rain.
“Nih pakai. Dari pada kamu sakit.” Rain menggeleng. Ia sama sekali tak merasakan hawa dingin menyergap tubuhnya. Padahal hujan semakin kian turun menderas. Angin sore yang menembus pori pori kulit membuat bulu kuduk berdiri. Terpaksa, Kelvin memakai jaketnya pada punggung Rain.
“Makasih…”
“Kau suka hujan ya.. Sampai rela hujan hujanan begitu?” Kelvin menaikan satu alisnya. Rain mengangguk. Ia memang sangat suka dengan hujan. Air yang turun dari atas langit itu.
“Bukannya hujan itu membawa bahagia?”
Kelvin mengepal tangannya sesaat melihat Andini sedang bersama pengganti dirinya yang baru. Sakit, masih ada sisa rasanya terhadap perempuan yang pernah melukiskan kisah kisah bermakna dalam hidupnya. Andini sedang duduk di tepi koridor bersama lelaki yang pernah menjadi sahabatnya dulu. Yang bisa merebut Andini dari hidupnya. Tanpa disangka sama sekali dan tak ingin terjadi. Dengan Tega sahabatnya itu menusuknya dari belakang. Kelvin menarik nafas panjang sebelum diketahui keberadaannya oleh Andini. Ia berbalik tak jadi pergi ke perpus ketika mengetahui Andini bersama Yuda.
“Hidup itu kan tak selalu sesuai harapan kita. Kita hanya bisa merencanakannya saja. Kau tau Vin? Aku juga tak ingin seperti ini. Tapi itulah hidup.. Ada hikmah tersendiri yang bisa kita petik.” Kelvin menoleh ke arah Rain. Hujan. Mungkin kota julukan sebagai kota hujan ini sangat tepat untuk cuaca yang terjadi saat ini. Mereka kini sedang berteduh di bawah pohon taman. Taman yang berpapasan langsung dengan danau. Pandangannya lurus ke depan. Memandang danau yang masih terlihat jernih itu
“Tak ingin seperti ini? Memangnya kau tidak pengin seperti apa?” Rain menoleh kearah Kelvin.
Rain terdiam. Yang terjadi sekarang adalah keheningan. Ia mencoba bersenandung kecil untuk menutupi hatinya saat ini. Jangan sampai ada satu bulir air mata yang menetes ke pipinya. Atau bahkan lebih. Kelvin menundukan setengah badannya, untuk mengetahui apa yang dilakukan Rain. Dilihatnya mata Rain yang sudah mulai basah, jika dipoles akan bisa membanjiri raut wajahnya. Apa ucapannya salah? Atau Rain kenapa?
“Kau menangis ya..?” Kelvin memegang kedua pipi Rain ke arahnya. Mata Rain menunduk. Entah apa yang ia tangiskan saat ini. Yang diketahuinya, ia baru pertama kalinya melihat Rain menangis di hadapannya.
“Maaf. Kalau itu menyinggung! Kau kenapa menangis?” Kelvin mengusap air mata Rain yang sudah mulai menetes. Rain menggeleng, kemudian memeluk tubuh Kelvin. Saat ini ia benar benar membutuhkan sandaran untuk melegakan hatinya.
Seperti yang dilakukannya sehabis pulang sekolah. Kelvin menunggu bis yang akan membawanya sampai ke rumah. Dua hari ini ia tak melihat Rain yang selalu ada ketika ia berada di halte bis. Cuaca kali ini tidak hujan dan begitu panas. Tak ada sinar matahari yang menembus awan awan langit. Teduh dan tidak mendung. Kelvin duduk, menunggu kedatangan bis. Biasanya Rain sudah ada sambil berjalan membawa sesuatu. Apa mungkin karena hari ini tidak hujan, maka tidak ada Rain. Gadis yang sekarang berada di hatinya, menghilang semenjak mereka di taman.
“Vin..!” Kelvin berharap itu panggilan dari Rain. Ia mendongkakkan wajahnya sedikit setelah tadi menunduk ke bawah. Ckck, yang ada bukan Rain, tapi Andini. Andini belarian menuju Kelvin yang terlihat duduk di bangku halte bis.
“Vin..!” panggilan itu sekali lagi telontarkan dari mulut sang pengguna. Kelvin bediri dari posisi duduknya. Berniat untuk memasuki bis yang sudah mulai terlihat dari ujung sana.
“Kelvin, dengerin aku dulu dong! Itu tak seperti yang kau lihat!” Andini mulai menjelaskan tentang kejadian tadi di sekolahnya. Kelvin masih diam mendengarkan perkataan yang menurutnya basi.
“.. tadi nggak sengaja. Aku juga nggak tau kenapa Yuda mencium a…”
“Terus. Sekarang apa hubungannya sama aku? Kita udah nggak ada hubungan sama sekali!” Kelvin memotong ucapan dari gadis di sebelahnya. Andini menunduk. Memang benar apa yang Kelvin katakan. Dirinya sama Kelvin sama sekali tak terikat oleh hubungan apapun. Bis yang tadi masih terlihat jauh sekarang sudah berada di hadapan. Kelvin mulai berjalan untuk memasuki bis pengantar itu sampai menuju rumahnya.
“Maaf, aku harus pergi..!” kata itu masih terlontarkan dari mulut Kelvin. Kelvin menengok ke arah Andini sebelum ia benar benar pergi.
Penulis Cerita: Mardita Khusnulia Wati
Bagikan :

 
 
Copyright © 2014 Kotatulis - All Rights Reserved
Hak Cipta dan Ketentuan | Tentang Kami