Kawan… maukah engkau mendengarkan kisah seorang yang menjunjung pengabdian dan kesetiaan?
Tentunya engkau akan bertanya-tanya siapa orang itu, apa pekerjaan dan tinggal dimana serta segudang pertanyaan itu.
Tentunya engkau akan bertanya-tanya siapa orang itu, apa pekerjaan dan tinggal dimana serta segudang pertanyaan itu.
Rok*k kretek kembali aku hisap secara perlahan-lahan dan asapnya ke luar melingkar-lingkar bagaikan spiral mengikuti selera si pengisap sembari ditemani kopi pahit di atas meja.
Rekanku yang duduk di seberang meja hanya bisa bergumam entah dia malas untuk membicarakan tokoh yang aku ceritakan namun di satu sisi dia mau tidak mau harus menghargai awal ceritaku itu mengingat dirinya sebagai tamu.
Bolehlah…? selorohnya yang mungkin menjawab pertanyaanku yang mengesalkan itu.
Baiklah, aku akan sedikit bertanya kepada engkau, apa perbedaan antara kesetiaan dengan pengabdian. Tentunya sebelum dia bertanya lebih lanjut akan ku adu dahulu suatu pendapat yang bisa dikatakan beda-beda tipis itu.
“Baiklah, menurutku pengabdian itu bekerja untuk majikan sedangkan kesetiaan pekerjaan untuk pamrih,” ungkapku sembari terbatuk-batuk karena kebanyakan menghisap rok*k.
“Tapi…,” dia mencoba menyela tapi telah kupotong pembicaraannya yang tidak lain untuk memancing emosi dirinya, aku bersikap masa bodoh kalau dirinya tidak mau terima dengan sikapku itu. Mungkin dia mulai kesal yang tampak dari kerutan di keningnya dan matanya yang mendelik seolah-olah hendak menerkam seluruh tubuhku yang kurus kering ini.
Rekanku yang duduk di seberang meja hanya bisa bergumam entah dia malas untuk membicarakan tokoh yang aku ceritakan namun di satu sisi dia mau tidak mau harus menghargai awal ceritaku itu mengingat dirinya sebagai tamu.
Bolehlah…? selorohnya yang mungkin menjawab pertanyaanku yang mengesalkan itu.
Baiklah, aku akan sedikit bertanya kepada engkau, apa perbedaan antara kesetiaan dengan pengabdian. Tentunya sebelum dia bertanya lebih lanjut akan ku adu dahulu suatu pendapat yang bisa dikatakan beda-beda tipis itu.
“Baiklah, menurutku pengabdian itu bekerja untuk majikan sedangkan kesetiaan pekerjaan untuk pamrih,” ungkapku sembari terbatuk-batuk karena kebanyakan menghisap rok*k.
“Tapi…,” dia mencoba menyela tapi telah kupotong pembicaraannya yang tidak lain untuk memancing emosi dirinya, aku bersikap masa bodoh kalau dirinya tidak mau terima dengan sikapku itu. Mungkin dia mulai kesal yang tampak dari kerutan di keningnya dan matanya yang mendelik seolah-olah hendak menerkam seluruh tubuhku yang kurus kering ini.
“Cobalah engkau tengok ke bawah dari jendela sini, pasti engkau sudah tahu di bawah ada kali kecil. Pasti engkau selalu melewati jika setiap malam datang ke rumahku,”.
Dia berlagak pilon. “Ya saya tahu itu ada sungai yang bercabang, ke kiri menuju aliran got yang berarus kencang menuju Sungai Cikapundung dan berbentuk air terjun. Di sisi kanan melewati bawah got mengalir menuju ke hilir,” katanya sedikit memerinci apa yang dia ketahui.
“It’s ok, nah engkau sudah tahu, siapa pengendali aliran air itu yang berasal dari arah hulu Bandung Utara. Tentunya engkau bisa membayangkan bagaimana jika tidak ada pengendali, tentunya rumah-rumah yang padat di lembahan ini akan terendam banjir saat hujan deras,” kataku.
Wajahnya mulai terang kembali dan terlihat berselera untuk membicarakan tema yang dibicarakan. “Saya mengerti maksud anda itu soal pengendalinya… kan… atau bahasa kerennya operatorlah,” katanya kembali dengan suara girang seolah-olah ingin meneriakan kata-kata “eureka” namun dia sadar diri sebagai tamu.
Itulah kesetiaan dan pengabdian Mang Endon, aku akan mulai menjelaskan secara rinci dan akan aku kupas soal pengabdian dan kesetiaan itu.
Dia pun semakin berselera untuk mendengarkan kisahku terlebih lagi Mang Endon namanya pernah diangkat di dalam tulisan sosok yang dimuat di salah satu media lokal. Aku pun berharap dirinya tidak terkantuk-kantuk untuk mendengarkan cerita itu mengingat jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB sekitar tahun 2001. Wajar saja dipastikan anda juga akan mengantuk mengingat situasi dan kondisi yang ada saat itu hujan gerimis dan udara dingin mulai menggigit menembus tulang sumsum.
Dia berlagak pilon. “Ya saya tahu itu ada sungai yang bercabang, ke kiri menuju aliran got yang berarus kencang menuju Sungai Cikapundung dan berbentuk air terjun. Di sisi kanan melewati bawah got mengalir menuju ke hilir,” katanya sedikit memerinci apa yang dia ketahui.
“It’s ok, nah engkau sudah tahu, siapa pengendali aliran air itu yang berasal dari arah hulu Bandung Utara. Tentunya engkau bisa membayangkan bagaimana jika tidak ada pengendali, tentunya rumah-rumah yang padat di lembahan ini akan terendam banjir saat hujan deras,” kataku.
Wajahnya mulai terang kembali dan terlihat berselera untuk membicarakan tema yang dibicarakan. “Saya mengerti maksud anda itu soal pengendalinya… kan… atau bahasa kerennya operatorlah,” katanya kembali dengan suara girang seolah-olah ingin meneriakan kata-kata “eureka” namun dia sadar diri sebagai tamu.
Itulah kesetiaan dan pengabdian Mang Endon, aku akan mulai menjelaskan secara rinci dan akan aku kupas soal pengabdian dan kesetiaan itu.
Dia pun semakin berselera untuk mendengarkan kisahku terlebih lagi Mang Endon namanya pernah diangkat di dalam tulisan sosok yang dimuat di salah satu media lokal. Aku pun berharap dirinya tidak terkantuk-kantuk untuk mendengarkan cerita itu mengingat jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB sekitar tahun 2001. Wajar saja dipastikan anda juga akan mengantuk mengingat situasi dan kondisi yang ada saat itu hujan gerimis dan udara dingin mulai menggigit menembus tulang sumsum.
Mang Endon saat itu berusia sekitar 56 tahun, itu berdasarkan pengakuan dirinya saja karena berpatokan dirinya “borojol” dari rahim ibunya tepat saat Jepang masuk ke Indonesia. Tentunya tidak bisa dipertanggungjawabkan pengakuan itu, tapi saya pun tidak mau mempersoalkan hal itu.
Perawakannya kecil ya tingginya sekitar 155 centimeter tapi berorot dengan kulit hitam legam maklum karena pekerjaannya yang mengurusi pengairan tidak mengenal waktu. Kepala bagian atasnya sudah tidak berambut yang ada hanya di sisi kiri dan kanan kepalanya beruban – yang jelas bukan karena pewarna rambut – dan kumisnya itu yang menjadi ciri khas sudah dipenuhi uban.
Oh iya… satu lagi ciri khasnya di mulutnya selalu terselip rok*k kretek, dan dia juga mengaku kebiasaan merok*k itu dimulai kalau tidak salah saat Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA).
Oh iya… satu lagi ciri khasnya di mulutnya selalu terselip rok*k kretek, dan dia juga mengaku kebiasaan merok*k itu dimulai kalau tidak salah saat Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA).
Kami biasa memanggilnya Mang Endon, setiap dia lewat dan bertemu aku selalu dia tersenyum dan mengeluarkan basa-basinya. “Den, bade kamana (Dik, mau kemana),” dari suaranya yang parau.
Setiap subuh dia rutin menjalankan Shalat Subuh di surau yang berada tepat di pinggir sungai kecil itu terkadang dia dengan sukarela menjadi imam. Dia selalu hadir menjelang adzan, tidak peduli hujan.
Setiap subuh dia rutin menjalankan Shalat Subuh di surau yang berada tepat di pinggir sungai kecil itu terkadang dia dengan sukarela menjadi imam. Dia selalu hadir menjelang adzan, tidak peduli hujan.
Selepas menjalankan subuh, dia wajib menjalankan ritual utamanya yakni mengecek irigasi itu dari sungai kecil, dia nyemplung ke kali yang dalamnya sedada orang dewasa kemudian mengangkat papan penyekat air untuk dialirkan ke arah hilir yang melewati gorong-gorong di bawah sungai kecil deras dari punggungan lembah.
Sesekali dia mengambil sampah-sampah yang tertahan di pintu air itu. Satu… dua… tiga… angkatan sampahnya, sudah berada di tepian sungai. Itu lho rok*knya tetap tidak bisa lepas dari mulutnya yang sudah menghitam karena selalu terkena tembakau.
Menjelang matahari terbit dia kembali ke rumah untuk beristirahat sejenak untuk bermimpi untuk diaku menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di bidang pengairan. Jadwal siaganya itu dilakukan kembali pukul 12.00 WIB, 15.00 WIB sampai 21.00 WIB.
Oh ya… tapi kalau hujan terus menerus yang tentunya air mulai meninggi, dia bisa bekerja “full time”.
“Kalau hujan sudah resiko untuk kerja terus menerus, aliran air ini harus dipindahkan ke sungai, dan pintu air ke sungai kecil menuju ke hilir harus ditutup, kalau tidak ditutup, Aden kan dah tahu pasti abdi (saya) dimarahin lagi oleh warga,” katanya menjawab pertanyaanku saat itu.
“Kalau hujan sudah resiko untuk kerja terus menerus, aliran air ini harus dipindahkan ke sungai, dan pintu air ke sungai kecil menuju ke hilir harus ditutup, kalau tidak ditutup, Aden kan dah tahu pasti abdi (saya) dimarahin lagi oleh warga,” katanya menjawab pertanyaanku saat itu.
Sekali waktu, dia terlihat marah-marah dan aku pun baru pertama kali sejak mengenal sosok Mang Endon itu tentunya sangat kaget dengan perubahan sikapnya yang biasa ramah menjadi murang maring itu. “Mang, kenapa? Ada apa?,” tanyaku.
Selidik punya selidik kekesalan dirinya karena ada warga yang membuang sampah seenaknya hingga menyumbat pintu air dan ia terpaksa harus turun kembali ke sungai untuk mengambil sampah itu karena air mulai meninggi setelah hujan seharian mengguyur kota kembang.
Selidik punya selidik kekesalan dirinya karena ada warga yang membuang sampah seenaknya hingga menyumbat pintu air dan ia terpaksa harus turun kembali ke sungai untuk mengambil sampah itu karena air mulai meninggi setelah hujan seharian mengguyur kota kembang.
Dia tergopoh-gopong masih menggunakan sarung menapaki tangga kecil yang licin menuju ke tepi sungai di atas. Selepas membuka sarung, dia tinggal tersisa memakai celana pendek bola berwarna putih sedengkul. Tidak lupa membuka singlet putihnya yang sudah berwarna kecoklat-coklatan, langsung nyemplung.
Dengan sigapnya dia mengumpulkan sampah dan membersihkan sampah yang terselip di papan penahan aliran air.
“Warga bisanya hanya buang sampah sembarangan, tapi kalau hujan mulai panik takut kebanjiran. Siapa lagi kalau abdi yang disalahkan,” ungkapnya kesal.
“Warga bisanya hanya buang sampah sembarangan, tapi kalau hujan mulai panik takut kebanjiran. Siapa lagi kalau abdi yang disalahkan,” ungkapnya kesal.
Pernah juga, saat hujan deras sekitar pukul 23.00 WIB, Mang Endon sibuk buka tutup pintu air. Dirinya tidak peduli dengan petir yang bersahutan-sahutan di langit, asalkan aliran air dialihkan ke sungai besar.
Ironisnya saat itu, meski dia sudah mengabdi sampai saat itu belum diangkat menjadi PNS melainkan hanya diberi selembar penghargaan ucapan terima kasih dan jam dinding yang menempel di tembok rumahnya yang kusam.
“Sampai sekarang saya belum diangkat PNS, cuman yang ditembok itu saja sebagai penghargaanya,” keluhnya.
“Mang Endon… Mang Endon… Mang Endon…,” demikian nama itu selalu dipanggil oleh anak-anak, pemuda-pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak.
Aku pun hanya tersenyum dan geli betapa cintanya warga kepada Mang Endon ini. “Dia seorang ksatria bertanggung jawab akan pekerjaannya,” demikian celetuk Teh Eti, pemilik warung di tepi sungai kecil itu.
Ironisnya saat itu, meski dia sudah mengabdi sampai saat itu belum diangkat menjadi PNS melainkan hanya diberi selembar penghargaan ucapan terima kasih dan jam dinding yang menempel di tembok rumahnya yang kusam.
“Sampai sekarang saya belum diangkat PNS, cuman yang ditembok itu saja sebagai penghargaanya,” keluhnya.
“Mang Endon… Mang Endon… Mang Endon…,” demikian nama itu selalu dipanggil oleh anak-anak, pemuda-pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak.
Aku pun hanya tersenyum dan geli betapa cintanya warga kepada Mang Endon ini. “Dia seorang ksatria bertanggung jawab akan pekerjaannya,” demikian celetuk Teh Eti, pemilik warung di tepi sungai kecil itu.
“Bagaimana kawan, engkau sudah bisa mengerti akan pengabdian dan kesetiaan yang aku ceritakan tadi,” tanyaku.
“Ehmmm… ehmmm… mengerti…,” balas temanku.
Pukul 02.30 WIB, hujan gerimis tidak berhenti juga kawanku terpaksa harus menginap di rumahku yang berada tepat di atas areal kerja Mang Endon itu.
Sebelum tidur, kawanku itu berbisik “mungkinkah Mang Endon saat ini terjaga khawatir air meluap”.
Jawabanku singkat saja “Mungkin,”.
“Ehmmm… ehmmm… mengerti…,” balas temanku.
Pukul 02.30 WIB, hujan gerimis tidak berhenti juga kawanku terpaksa harus menginap di rumahku yang berada tepat di atas areal kerja Mang Endon itu.
Sebelum tidur, kawanku itu berbisik “mungkinkah Mang Endon saat ini terjaga khawatir air meluap”.
Jawabanku singkat saja “Mungkin,”.
Bekasi, 8 Mei 2013
Penulis Cerita: Riza Fahriza