Namaku Aldio. Aku ini anak dari keluarga kaya. Aku ini anak tampan yang dikejar beberapa macam gadis. Aku ini anak SMA yang katanya ‘sempurna’. Tapi setidaknya aku tau satu hal, satu yang tak pernah aku punya. Semangat. Ya, semangat telah hilang dari hidupku. Ia perlahan memudar ketika aku masih berada di bangku SD. Jangan Tanya mengapa. Karena aku takkan pernah bisa menjawab pertanyaan itu.
Saat itu. Di pinggir dermaga. Kapal memamerkan teriakannya. Ia berjalan perlahan terbawa ombak. Pelan. Pelan. Dan hilang. Aku menatap kapal yang entah akan kembali atau tidak. Kaki ku kaku. Rambutku terkibas angin laut. Terik mentari membakar kulitku. Dan mereka tak tumbuhkan semangatku. Pelabuhan ini begitu menyesakkan. Mengingat saat lalu, saat pelabuhan ini menjadi tempat terakhirku bertemu dengannya. Ya, dengan orang tuaku yang perempuan, mama.
Sejak ia pergi.. Aku bahkan tak sanggup bicara. Setiap kata hanya bisa terpendam dalam hati. Yang terus menusuk dan menusuk hingga perih. Aku berdarah, aku terluka. Kepalaku terasa berat, tangisanku tak kunjung reda. Aku hanya bisa berteriak, itu pun tanpa suara. Mengapa saat itu aku harus mengijinkan mama ku pergi?
Dan sekarang. Hanya daun kering yang beterbangan. Sayap sayap tak lagi terkepakkan. Tangisan demi tangisan terus diteriakkan. Aku bisa gila bila larut dalam ke kelaman ini. Aku ingin mempunyai semangat, tapi hingga kini, tak pernah ada seseorang yan bisa tumbuhkan semangat itu.
“Aldi..” panggilnya yang entah mengapa selalu buatku sinis.
Aku hanya menganggapnya boneka candaan. Yang tiap hari memanggilku dan menasihatiku. Namanya Tiwi, guru BK ku yang terbilang masih muda. Umurnya masih 20 tahun. Entah mengapa dia bisa jadi guru BK di umur yang masih terlampau muda ini. “Kau menyindiri lagi. Tiap hari menyendiri.” ujarnya. Aku meliriknya sinis, hampir marah.
Ia menyentuh tanganku yang sedari tadi mengepak di atas kaki. Angin berhembus sepoi sepoi. Pucuk cemara menari pelan. Aku malu pada semut yang baru saja berbondong untuk pindah rumah. “Ibu tau apa yang kamu rasakan.” ujarnya lagi. Tau yang aku rasakan? Berkali kali ia bilang seperti itu, tapi kenyataanya ia tak pernah tau perasaanku. Di selang waktu luangnya ia masih bisa tertawa. Jika ia tau perasaanku, setidaknya ia berduka pula sepertiku.
“Ibu tak pernah bergurau kepadamu. Itulah kenyataanya. Bahwa ibu sangat mengerti perasaanmu.” katanya sambil memamerkan wajah lembutnya itu. Nafasku tersengal, dia masih begitu saja. Tak lihatkah ia tanda di mataku? Bahwa aku ingin ia meninggalkan aku sendiri. “Aldio..” ucapnya pelan sebelum ku putus semuanya.
“Kalau ibu tak pernah mengerti, jangan pernah bilang mengerti!” hentakku keras dan meninggalkan ia. Aku sumpek dengan perasaan seperti ini. Sumpek dikejar-kejar orang yang terus menerus bicara akan perasaanku. Padahal jelas mereka takkan tau rasa sakit ini. Rasa perih yang telah membekas dan entah kapan akan pudar dan lari.
Aku hanya menganggapnya boneka candaan. Yang tiap hari memanggilku dan menasihatiku. Namanya Tiwi, guru BK ku yang terbilang masih muda. Umurnya masih 20 tahun. Entah mengapa dia bisa jadi guru BK di umur yang masih terlampau muda ini. “Kau menyindiri lagi. Tiap hari menyendiri.” ujarnya. Aku meliriknya sinis, hampir marah.
Ia menyentuh tanganku yang sedari tadi mengepak di atas kaki. Angin berhembus sepoi sepoi. Pucuk cemara menari pelan. Aku malu pada semut yang baru saja berbondong untuk pindah rumah. “Ibu tau apa yang kamu rasakan.” ujarnya lagi. Tau yang aku rasakan? Berkali kali ia bilang seperti itu, tapi kenyataanya ia tak pernah tau perasaanku. Di selang waktu luangnya ia masih bisa tertawa. Jika ia tau perasaanku, setidaknya ia berduka pula sepertiku.
“Ibu tak pernah bergurau kepadamu. Itulah kenyataanya. Bahwa ibu sangat mengerti perasaanmu.” katanya sambil memamerkan wajah lembutnya itu. Nafasku tersengal, dia masih begitu saja. Tak lihatkah ia tanda di mataku? Bahwa aku ingin ia meninggalkan aku sendiri. “Aldio..” ucapnya pelan sebelum ku putus semuanya.
“Kalau ibu tak pernah mengerti, jangan pernah bilang mengerti!” hentakku keras dan meninggalkan ia. Aku sumpek dengan perasaan seperti ini. Sumpek dikejar-kejar orang yang terus menerus bicara akan perasaanku. Padahal jelas mereka takkan tau rasa sakit ini. Rasa perih yang telah membekas dan entah kapan akan pudar dan lari.
“Aldio! Kamu membolos lagi?” bentak papa saat aku menginjakan kaki di petak pertama. Kumis papa berdiri tegak, wajahnya memerah. Aku bahkan tak ingin melihat monster menakutkan ini. “Siapa yang membolos pa?” tanyaku. “Papa baru saja terima telpon dari Bu Tiwi. Kau hanya datang dan tak mengikuti pelajaran.” jawab papa yang semakin naik darah. Lagi lagi guru itu.
“Kalau papa lebih percaya Bu Tiwi, itu terserah!” jawabku yang sudah mati karena entah harus menjawab apa lagi. Aku hentakkan kakiku sambil melangkah menuju kamar. Pintu kamar yang sudah rusak itu kini harus bersabar karena bantingan kerasku. Jaket rusuhku ku lempar sembarangan. Rasanya aku pingin misuh. “Aldio.. Kamu ini kenapa?” teriak papa dari luar sambil mengetuk pintu keras. Bahkan papa pun tak tau perasaanku.
“Kalau papa lebih percaya Bu Tiwi, itu terserah!” jawabku yang sudah mati karena entah harus menjawab apa lagi. Aku hentakkan kakiku sambil melangkah menuju kamar. Pintu kamar yang sudah rusak itu kini harus bersabar karena bantingan kerasku. Jaket rusuhku ku lempar sembarangan. Rasanya aku pingin misuh. “Aldio.. Kamu ini kenapa?” teriak papa dari luar sambil mengetuk pintu keras. Bahkan papa pun tak tau perasaanku.
Pelabuhan ini tempat penantianku. Dimana air menyentuh batu. Dan kapal kapal berteriak keras. Batu besar yang tiada henti menemaniku ini selalu jadi tong curhatanku. Setiap kapal yang datang, ada seberkas harapan dalam hidupku. Harapan yang mustahil, takkan pernah menjadi nyata. Namun aku tetap menanti dan menanti. Walau aku harus mati.
Cahaya mentari menyeruak masuk dalam langit senja. Warna orange yang terlukis dengan teriakan teriakan burung walet. Air bergeming indah. Kapal kapal menghentikan teriakannya di dermaga. Aku masih duduk menanti. “Aldio..” lagi lagi dirinya. Muak aku dengannya.
“Kau ini siapa?” tanyaku sedikit kesal.
“Tak baik jika kau terus disini. Angin laut akan membuatmu sakit.” jawabnya
“Kau ini tau apa? Kau bukanlah siapa siapa.”
“Aku tau tempat ini berharga untukmu. Aku tau segala perasaanmu, juga aku tau kenanganmu dengan tempat ini.” ucapnya. Dia tau? Dasar sok tau. Memangnya dia Tuhan yang bisa melihat catatan keseharian juga perasaan serta kenanganku?
“Tempat ini, tempat penantianmu bukan? Perasaanmu, perasaan sakit yang teramat dalam bukan? Dan tempat ini, tempat terakhirmu bertemu dengan mama mu bukan?” katanya. Ia benar. Aku menoleh padanya dan menatap matanya yang berkaca. Ia mengusap pipi kanannya, dan menarik nafas. “Jika waktu bisa diulang, kau tak ingin mamamu pergi kan? Seperti itu kan rasa penyesalanmu.” katanya sekali lagi benar. “Kau ini siapa?” Tanya ku sedikit luluh. Ia menatapku, tatapan perih itu merasuk kuat hingga menusuk jantungku.
“Semua itu sudah berlalu, harusnya kau tak terpuruk seperti ini. Bangkitlah nak..” ujarnya. Entah mengapa aku hafal dengan suara nya, aku hafal dengan matanya, dan aku hafal dengan air matanya yang tak sengaja menyentuh tanganku. Ku rasakan lagi kehangatan. “Kau ini siapa?” tanyaku sekali lagi. “Aku? Aku Bu Tiwi, guru BK mu.” jawabnya. “Tapi kau seperti..” kataku terhenti setelah ada lelaki yang memanggilnya. Ia hanya menyentuh tanganku dan mengusap pipiku. Lalu ia pergi. Jauh.. jauh dan hilang.
“Kau ini siapa?” tanyaku sedikit kesal.
“Tak baik jika kau terus disini. Angin laut akan membuatmu sakit.” jawabnya
“Kau ini tau apa? Kau bukanlah siapa siapa.”
“Aku tau tempat ini berharga untukmu. Aku tau segala perasaanmu, juga aku tau kenanganmu dengan tempat ini.” ucapnya. Dia tau? Dasar sok tau. Memangnya dia Tuhan yang bisa melihat catatan keseharian juga perasaan serta kenanganku?
“Tempat ini, tempat penantianmu bukan? Perasaanmu, perasaan sakit yang teramat dalam bukan? Dan tempat ini, tempat terakhirmu bertemu dengan mama mu bukan?” katanya. Ia benar. Aku menoleh padanya dan menatap matanya yang berkaca. Ia mengusap pipi kanannya, dan menarik nafas. “Jika waktu bisa diulang, kau tak ingin mamamu pergi kan? Seperti itu kan rasa penyesalanmu.” katanya sekali lagi benar. “Kau ini siapa?” Tanya ku sedikit luluh. Ia menatapku, tatapan perih itu merasuk kuat hingga menusuk jantungku.
“Semua itu sudah berlalu, harusnya kau tak terpuruk seperti ini. Bangkitlah nak..” ujarnya. Entah mengapa aku hafal dengan suara nya, aku hafal dengan matanya, dan aku hafal dengan air matanya yang tak sengaja menyentuh tanganku. Ku rasakan lagi kehangatan. “Kau ini siapa?” tanyaku sekali lagi. “Aku? Aku Bu Tiwi, guru BK mu.” jawabnya. “Tapi kau seperti..” kataku terhenti setelah ada lelaki yang memanggilnya. Ia hanya menyentuh tanganku dan mengusap pipiku. Lalu ia pergi. Jauh.. jauh dan hilang.
Dan hari itu, saat aku menunggu di pelabuhan. Wanita itu datang dengan kopernya yang besar. Ia menatapku pedih. Ku lihat matanya dengan seksama. Entah mengapa aku memeluknya. Angin laut yang berdesir kencang. Senja yang terlukis indah. Rambutnya yang lurus terkibas indah. Aku merasakan lagi kehangatan seorang mama.
“Kau mau kemana?” tanyaku dengan air mata yang sudah jatuh menggores kaosnya.
“Aku akan pergi.” jawabnya.
“Mengapa begitu? Kau kan guru BK di sekolah.” tanyaku yang masih penasaran
Ia mengusap keningku dan tersenyum padaku. Dan aku hafal senyuman itu. Ia raih tanganku dan meletakan sesuatu di telapak tanganku seraya mengepalkan tanganku kembali. “Jadilah anak yang baik. Bangkitlah dari keterpurukan yang terus menerus kau selami.” pesannya seperti ia takkan kembali. “Kau akan kembali kan?” tanyaku. Dia menggeleng. “T..Tapi.. Kau harus kembali!” kataku sedikit keras. “Takkan..” jawabnya pelan. “Tapi mengapa?” tanyaku.
DIa tak menjawab.
“Kalau begitu, aku akan menanti disini hingga kau kembali.”
“Jangan nak!” pintahnya.
“Mengapa tak boleh?” tanyaku lagi.
“Nikmati masa mudamu, jangan sia siakan waktumu dengan penantian yang mustahil adanya. Buang harapan harapan yang sudah lama pupus itu. Bunga yang layu, takkan pernah mekar lagi.” jawabnya yang bahkan aku tak mengerti. “Sudah ya, waktu ku telah habis olehmu. Jaga diri baik-baik.”
“Kau mau kemana?” tanyaku dengan air mata yang sudah jatuh menggores kaosnya.
“Aku akan pergi.” jawabnya.
“Mengapa begitu? Kau kan guru BK di sekolah.” tanyaku yang masih penasaran
Ia mengusap keningku dan tersenyum padaku. Dan aku hafal senyuman itu. Ia raih tanganku dan meletakan sesuatu di telapak tanganku seraya mengepalkan tanganku kembali. “Jadilah anak yang baik. Bangkitlah dari keterpurukan yang terus menerus kau selami.” pesannya seperti ia takkan kembali. “Kau akan kembali kan?” tanyaku. Dia menggeleng. “T..Tapi.. Kau harus kembali!” kataku sedikit keras. “Takkan..” jawabnya pelan. “Tapi mengapa?” tanyaku.
DIa tak menjawab.
“Kalau begitu, aku akan menanti disini hingga kau kembali.”
“Jangan nak!” pintahnya.
“Mengapa tak boleh?” tanyaku lagi.
“Nikmati masa mudamu, jangan sia siakan waktumu dengan penantian yang mustahil adanya. Buang harapan harapan yang sudah lama pupus itu. Bunga yang layu, takkan pernah mekar lagi.” jawabnya yang bahkan aku tak mengerti. “Sudah ya, waktu ku telah habis olehmu. Jaga diri baik-baik.”
Ia pergi, benar-benar pergi. Dengan kopernya yang besar, dengan dress merah jambunya. Juga dengan rambut yang indah. “Kembalilah jika kau ingin!!!” teriakku keras yang sepertinya di dengar olehnya. Ia menoleh padaku dan tersenyum.
Kepalan tangaku terbuka, dan kejutan yang ku dapat. Aku merindukan kamu, anakku yang selalu ku banggakan. Penantianku tak sia-sia, dia bukanlah seorang guru BK, tapi mama. Harusnya aku sadar sejak pertama, bahwa orang yang ku nanti telah hadir kembali, dan kini harus pergi lagi.
Aku tersenyum pada langit senja. Memasukan kertas itu dalam kantongku. Menatap masa depan yang masih setia menantiku. Di pelabuhan ini aku menanti, tapi bukan berarti di pelabuhan ini aku harus mati.
Penulis Cerita: Nasyta